By Anton Cine Joglo (Pendiri Lombok Plastic Free, organisasi lingkungan yang berbasis di Kuta Mandalika)
Bagi masyarakat Lombok, Rinjani bukan hanya sekedar gunung berapi dengan segala keindahannya. Tapi Rinjani sudah melampui consensus kosmologi lintas agama, secara kultural merupakan simbol dari peradaban masyarakat di pulau Lombok. Mempunyai signifikansi ekologi sebagai fondasi akan kesatuan ekosistem pulau Lombok. Makna sakral dalam consensus kosmologi dan peran fundamental dalam ekosistem pulau Lombok.
Disatu sisi, perkembangan tourism industry yang menawarkan Rinjani sebagai salah satu produk utama haruslah diimbangi dengan tata kelola yang baik. Jumlah kunjungan wisatawan yang sangat tinggi tentunya akan menimbulkan persoalan kerusakan lingkungan di Rinjani apabila tidak disertai tata kelola dan regulasi yang baik dan benar. Persoalan sampah di jalur pendakian dan pos pos perkemahan menjadi pemandangan yang umum kita jumpai. Meskipun TNGR sudah memberlakukan sistem pemeriksaan dan punishment, upaya ini tidak membuahkan hasil yang signifikan.
Pada tahun 2021, kami dari Lombok Plastic Free bersama Benjamin Ortega (youtuber Perancis), beserta Green Rinjani (Trekking Organiser) melakukan upaya kampanye dan Rinjani clean up pada bulan Agustus dan September dengan hasil yang mencengangkan. Sebelum aksi clean up, kami mengadakan diskusi dan pemetaan masalah dengan difasilitasi owner Sajang Glamping, hadir juga beberapa komunitas lain dan Ranger TNGR Sembalun waktu itu.
Ada beberapa point yang menjadi usulan kongkrit dari permasalahan sampah di Rinjani. Bahwa tidak mungkin sampah dari bawah itu bisa naik ke atas gunung dengan sendirinya. Pasti ada manusia/aktivitas pendakian yang membawa. Solusinya adalah menghentikan sampah tersebut untuk naik ke atas gunung. Caranya adalah memberlakukan larangan membawa barang kemasan yang berpotensi menjadi sampah diatas gunung di pos pos entrance.
TNGR atau Trekking Organiser bisa menyediakan food kontainer (bisa menyewakan). Misalnya, kemasan mie instan, roti, dll harus dibuka di pos entrance. Isi dari bahan makanan tersebut bisa dibawa dengan menggunakan food kontainer tanpa harus membawa kemasannya. Adapun kemasan kemasan plastik tersebut dikumpulkan di fasilitas sampah yang disediakan oleh DLHK untuk dijual ke bank sampah.
Bayangkan kalau sistem ini bisa diterapkan, tourism industrial interest, regulasi yang baik, political will dari pemerintah, efek circular economy masyarakat dalam pengelolaan sampah, dan upaya sakral menjaga keseimbangan kosmologi Lombok dalam bingkai kultural dapat bertemu dengan baik dan benar.
Sederhana tapi tegak lurus pada sasaran persoalan sampah di Rinjani.
Sempat juga kami setelah aksi Rinjani clean up tersebut diundang oleh Direktur TNGR untuk berdiskusi, hadir juga wakil bupati KLU saat itu. Tapi mungkin waktu itu belum bisa diimplementasikan.
Challenge terberat kita sesungguhnya bukan pada maksud dan tujuan yang BAIK saja, tapi caranya juga harus BENAR.
Untuk sekedar informasi tambahan, bahwa sudah tidak terhitung banyaknya jumlah Trekking Organiser yang beroperasi di Rinjani, nah, apakah mereka sudah menerapkan SOP zero waste pada tiap pendakian mereka dalam membawa tamu? Belum lagi jumlah pendaki mandiri dari kelompok masyarakat umum dan komunitas komunitas tertentu. Belum lagi jumlah pendakian ilegal yang tidak melewati jalur resmi. Seberapa efektifkah upaya penjagaan TNGR dalam memberlakukan punishment bagi yang melanggar?
Cukup regulasi yang simpel saja yang dibutuhkan, stop potensi sampah (khususnya non organik) di pos entrance. Ini akan memberikan dampak yang lebih signifikan dalam mengurai persoalan sampah di gunung Rinjani. Gunung yang menjadi nyawa bagi ekosistem pulau tercinta kita.
Wassalam
Komentar0