BSA7Gpd8GUz5TproTprpTfA7Gi==

Catatan Kunjungan UNU NTB ke China (2)




"Melihat Kehidupan Muslim China di Sichuan, Masjid Huangcheng dan
Harmoni di Kota Chengdu"

MATARAM, - Meski minoritas, penduduk muslim di Provinsi Sichuan, China, masih bisa beribadah menjalankan syariat agama dengan aman dan nyaman.

Selama tidak mengganggu ketertiban umum dan kepentingan negara,
seluruh umat beragama di China bebas menjalankan keyakinan beragama mereka.

Geliat Islami cukup terasa di Kota Chengdu, ibukota Provinsi Sichuan.
Seperti yang dirasakan rombongan Universitas Nahdlathul Ulama Provinsi Nusa Tenggara Barat (UNU NTB), saat berkunjung ke Sichuan, China, pertengahan Desember 2018.

"Ternyata kami tidak sulit untuk menunaikan sholat di Sichuan, karena
ada Masjid cukup besar di Kota Chengdu," kata Rektor UNU NTB, Hj. Baiq Mulianah.

Masjid Huangcheng terletak di pusat Kota Chengdu. Di dekatnya ada Tian
Fu Square, pusat perbelanjaan terkemuka, lapangan alun-alun Kota tak jauh dari patung raksasa Mao Zedong, tokoh pendiri Republik Rakyat China.

Konon nama masjid Huangcheng yang berarti Pagar Istana, diambil karena Masjid berada di lingkar istana kuno zaman dulu.

Baiq Mulianah mengaku takjub dengan toleransi dan harmoni masyarakat di Kota Chengdu.

"Kota ini berpenduduk 14 juta jiwa, dan penduduk muslim hanya 2 ribu
jiwa. Namun sebagai minoritas, muslim di sini bebas melaksanakan
kegiatan ibadah, interaksi sosial bahkan juga aktivitas perekonomian.
Tidak ada diskriminasi," kata Mulianah.

Mengunjungi Masjid Huangcheng, Baiq Mulianah dan rombongan UNU NTB sempat berbincang dengan pengurus masjid dan masyarakat muslim di sana.

Menurut warga Muslim di sana, mereka hidup, beraktivitas, dan
melaksanakan ibadah dengan nyaman dan baik-baik saja di Chengdu.

"Malah pengurus Masjid Huangcheng mengatakan bahwa Masjid Huangcheng juga direnovasi dengan biaya pemerintah (China), umat agama apapun di China tidak ada diskriminasi katanya. Selama mereka tidak mengganggu kepentingan umum dan negara, maka keamanan dan kenyamanan mereka
dijamin negara," kata Mulianah mengutip pengakuan masyarakat  muslim di Chengdu.

Bangunan Masjid Huangcheng Chengdu cukup besar sekitar 7 are,
sementara halamannya sangat luas mencapai 1 hektare. Masjid yang
berusia ratusan tahun ini digunakan oleh lebih dari 2000 penduduk
muslim di Chengdu.

Menurut Mulianah, pemerintah China memang melarang pendidikan
keagamaan masuk dalam kurikulum pendidikan nasional, namun setiap
warga negaranya tetap bebas menganut dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing.

"Saya tanya ke masyarakat, mereka bilang kalau mau belajar agama di
sekolah-sekolah nggak ada. Semua agama, mau Islam, Kristen, Budha,
Hindu, nggak boleh masuk kurikulum. Tapi pemerintah menyerahkan urusan
agama itu ke urusan keluarga masing-masing," katanya.

Chengdu menjadi Kota paling maju di China saat ini. Sejumlah destinasi
wisata juga banyak tersedia di Kota ini. Menariknya, Chengdu bagaikan
perpaduan lintasan dua zaman, kuno dan modern kekinian.

Toh bagi traveler muslim, termasuk pelancong dari Malaysia dan
Indonesia, tidak terlampau sulit menemukan restauran atau warung makan halal di Kota ini. Di sekitar Masjid Huangcheng sejumlah restaurant dan warung halal tersedia, yang dikelola warga muslim setempat.

Harmoni dan toleransi antar umat beragama nampak menjadi budaya yang sudah sangat mengakar di Chengdu. Di perkampungan muslim sekitar Masjid Chengdu, banyak juga penduduk lokal yang berhijab.

"Mereka juga sangat respek pada tamu. Tanpa kita memberi tahu bahwa kita muslim, mereka bisa melihat dari aksesoris yang kita pakai. Satu ketika ada warga melintas membawa ternak Babi, itu dia langsung bergegas agar ternaknya berlalu, dan kemudian dia minta maaf pada
(rombongan) kami. Ini yang saya rasa luar biasa," katanya.

Yang membanggakan, penduduk muslim di Chengdu rata-rata mengenal tokoh Indonesia, Presiden RI ke 4 KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Seorang pengurus Masjid Huangcheng di Kota Chengdu, malah menunjukan kaos bergambar Gus Dur yang ia kenakan, pada rombongan UNU NTB.

"Dia bilang pernah juga bertemu dengan Gus Dur, waktu berkunjung ke
Beijing saat Gus Dur masih menjabat Presiden," kata Baiq Mulianah.

Potret toleransi beragama juga sangat terlihat di Kota Sanya, Provinsi
Hainan, China. Kota wisata ini menjadi Kota kedua yang dikunjungi
rombongan UNU NTB.

"Di Hainan tepatnya di Kota Sanya itu ada satu distrik yang penduduknya mayoritas Islam. Ada enam Masjid di sana dan semua menaranya pakai toa (pengeras suara) untuk kumandangkan adzan," kata
Baiq Mulianah.

Jumlah penduduk muslim di Sanya tercatat lebih dari 20 ribu jiwa, dan
mereka semua hidup dan bermasyarakat tanpa ada diskriminasi dari pemerintah dan negara.

Baiq Mulianah mengatakan, Kota Sanya bisa dibilang Hawainya China.
Kota ini berdiri di pulau tersendiri, yang kini tengah giat dipromosikan dengan konsep wisata moslem friendly.

"Kota ini sangat indah dan bersih. Kami banyak bertemu wisatawan
muslim dari Malaysia dan Indonesia juga, ada rombongan dari Kediri
(Jawa Timur). Kita juga sempat bertemu dengan wisatawan dari suku
Uighur dan sempat berbincang juga," kata Baiq Mulianah.

Wisatawan Uighur yang datang dari Provinsi Xinjiang saat itu berjumlah
25 orang, terdiri dari beberapa keluarga. Dalam perbincangan, mereka juga mengaku baik-baik saja.

"Saya tanya apakah mereka didiskriminasi?, dan mereka jawab kalau benar didiskriminasi tidak mungkin mereka bisa berwisata ke Sanya. Mereka juga bilang sedang mempromosikan Xinjiang sebagai destinasi halal tourism," kata Baiq Mulianah.

Menurut Baiq Mulianah, dari kunjungan rombongan UNU NTB ke dua kota di China itu, sama sekali tak nampak ada diskriminasi terhadap umat muslim di sana. Semua warga negara diperlakukan sama, selama mereka tidak mengganggu kepentingan umum dan tidak mengganggu negara, apapun
agama dan kepercayaannya.

"Sesama masyarakat juga mereka harmonis dan toleran. Karena memang ternyata ada budaya di sana yang tertanam sejak kecil bahwa hidup dan tindakan jangan sampai merugikan orang lain," katanya.

Prinsip hidup dan tindakan jangan sampai merugikan orang lain, bahkan
juga berlaku dalam kehidupan keseharian masyarakat di sana dalam hal kecil.

Misalnya, saat makan di restauran, masyarakat di sana harus on time,
tepat waktu. Sebab jika lama dan menghabiskan waktu yang berlebihan, maka orang lain yang hendak makan akan menunggu lebih lama.

"Itu kami rasakan di Sanya, sangat tertib dan on time. Jadi kalau
sudah pesan jam 12 siang, maka harus on time, karena kalau lewat maka kita dianggap merugikan orang lain yang juga hendak makan setelahnya. Ini contoh kecil kan, tapi luar biasa," katanya.

Baiq Mulianah dan rombongan UNU NTB berkesempatan berkunjung ke
Provinsi Sichuan dan Provinsi Hainan di China, 16-24 Desember 2018
lalu, atas undangan Konjen China di Denpasar, Gao Haodong.

Sebelumnya pada akhir Agustus 2018 lalu, Konjen China di Denpasar, Gao Haodong bersama rombongan berkunjung ke Lombok untuk menyampaikan rasa
empati dan bantuan untuk korban gempa bumi melalui Posko NU Peduli di UNU NTB.

Haodong menyampaikan pemerintah dan masyarakat China bisa merasakan apa yang dirasakan masyarakat NTB yang dilanda bencana gempa bumi, karena China juga pernah merasakan bencana yang sama di Sichuan pada
2008 lalu.

Ia juga mengundang jajaran UNU NTB untuk berkunjung ke China dan
melihat bagaimana Sichuan bisa bangkit kembali pasca bencana.(red)

Komentar0

Cari Berita Lain di Google News

Type above and press Enter to search.