BSA7Gpd8GUz5TproTprpTfA7Gi==

Populisme Startup & Peran Santri


oleh : Muhammad Syaiful FP
(Santri Pegiat Literasi)


Populisme Startup

Dunia startup seolah menjadi tambang emas baru bagi anak muda. Populisme para pejuang digital ini meroket. Para foundernya menjadi idola baru. Bila di luar negeri pendiri Facebook, Mark Zuckenberg dari Amerika, pendiri Alibaba, Jack Ma dari China. Atau di dalam negeri ada pendiri Go-jek Nadiem Makarim yang kini menjadi Menteri Pendidikan.

Belakangan demam itu kian menjadi saat Presiden Joko Widodo mengangkat staf khusus milenial yang nama-nama seperti Adamas Belva Syah Devara pendiri @ruangguru, Andi Taufan CEO dari Amarta Mikro Fintek, ataupun Angkie Yudistia dengan Thisable Enterprise.

Nama-nama lain seperti Putri Tanjung, Gracia Billy, Ayu Kartika Dewi, dan Aminuddin Ma'ruf dalam pandangan publik bukan menonjol dalam arus digital. Namun, tidak menutup kemungkinan karena tuntutan mereka bisa larut dalam isu-isu digital.

Membincangkan startup sesungguhnya amat panjang dan berliku. Prosesnya tidak mudah. Jalan terjal itu bukan hanya ditopang pemahaman digital. Kerja tim. Tapi, perlu pula ditopang guyuran uang tidak sedikit. Publik perlu melihat bisnis digital ini secara utuh. Kalaupun sudah pintar teknologi, memiliki tim kuat, uang besar bukan berarti mereguk kesuksesan.
Ulasan media CNBC Indonesia mengulas lima startup yang telah menghabiskan uang triliunan untuk dibakar, akhirnya bangkrut.

Sebut saja Solyndra menghabiskan Rp 17 Triliun, startup ini kalah saing dengan perusahaan tenaga surya konvensional. Ada pula Jawbone, startup untuk headset, pelacak kebugaran, maupun speaker ini disuntik Rp 13 Triliun, akhirnya bangkrut. Berikutnya Abound Solar, diguyur Rp 8,5 Triliun. Produsen modul fotovoltalk ini juga bangkrut. Ada pula Theranos, didanai Rp 7 Triliun. Terobosan startup untuk deteksi penyakit lewat darah ini juga bangkrut. Terakhir, Optik ReVision startup implan kornea, kolaps setelah didukung Rp 2 Triliun.

Lima startup diatas, tentu sebagian kecil dari terobosan digital yang gulung tikar. Masih banyak lahir kemudian mati. Lahir sempat hidup beberapa saat kemudian mati. Bahkan, belum lahir sudah mati. Hanya saja, mungkin jumlah uang yang dibakar tidak sebesar bisnis diatas. Sudah bukan rahasia, membangun startup bukan hanya sekadar bicara konsistensi dan komitmen. Seberapa besar uang yang dibakar ikut menentukan.

Hari-hari ini, suguhan manisnya bisnis digital membuat mabuk kepayang. Ketika berbincang dengan anak muda, kalau ingin sukses dan populer, dirikanlah startup. Jarang diantara mereka yang berkisah kegagalan atau kebangkrutan startup yang telah diguyur dana berlimpah.

Santri dan Teknologi

Melihat gempita digital yang terus bergaung. Anak muda bergerombol bisa menembusnya. Termasuk para santri. Dunia pesantren memang identik dengan tradisionalitas. Melambat dibanding modernitas masyarakat umum. Itu tradisi yang dijaga. Dirawat dari ratusan tahun.
Jangan harap di pesantren bisa mendapati santri sibuk dengan gadget. Bermain laptop. Coba mengotak-atik coding. Keseharian mereka disibukkan dengan mengaji dan mengkaji ilmu agama. Belasan hingga puluhan turats (baca: kitab kuning). Meski begitu bukan berarti santri menjadi kolot. Tidak mampu mendaratkan kemampuannya dalam urusan digital. Dan ragam tafsiran miring lainnya.

Sebuah video menampilkan TGB HM Zainul Majdi, ulama asal NTB berbincang mengenai nilai-nilai yang tak akan terkikis oleh zaman. Nilai yang identik dengan pesantren kejujuran, akhlakul karimah, amanah, tawadhu, serta nilai-nilai kebaikan lainnya tak akan bergeser semaju apapun zaman dan teknologi. Oleh TGB nilai ini diibaratkan adalah mata uang yang bisa dipakai di semua negara. Berlaku terus-menerus tak akan berubah.

"Jual belinya online, tapi kan kejujuran itu tak akan sirna. Begitu pula dengan nilai kebaikan lainnya," katanya.

TGB yang berlatar belakang santri ini seolah memberi penegasan, bila santri tidak boleh minder dan rendah diri. Dahulu saat masih di Pesantrean Darunnahdatain, Pancor, Lombok Timur, TGB menempuh jalan sunyi sebagai santri. Mengaji dan menghafal Al Quran. Setelah lulus, kemudian menempuh kuliah di Al Azhar, Mesir, mulai sarjana hingga doktoral.(TGBnomic, 2018).

Tidak ada yang menyangka, belasan tahun setelah itu, TGB kemudian menjadi anggota DPR RI. Berlanjut kemudian menjadi menjadi Gubernur NTB dua periode. Beragam prestasi ditorehkan olehnya, hingga meraih Bintang Mahaputra Utama (2013), Menjadi Gubernur Terbaik (2017), pencetus wisata halal pertama, meraih Satyalancana Karya Bhakti Praja (2019), Penghargaan Moderasi Islam Grand Syeikh Al Azhar (2019), dan sederat penghargaan lainnya.

Ada pula Profesor Nadirsah Hosen, Rais Syuriah PCI (Pengurus Cabang Istimewa) Nahdlatul Ulama (NU) di Australia dan New Zealand. Pemegang dua gelar Ph.D. ini memilih berkiprah di Australia, hingga meraih posisi Associate Professor di Fakultas Hukum, University of Wollongong. Namun kemudian, pindah ke Monash University pada 2015. Putra bungsu dari almarhum Prof KH Ibrahim Hosen. Dari ayahnya inilah ia belajar mengenai ilmu tafsir, fikih, dan ushul al-fiqh. Dari jalur abahnya pula ia memiliki sanad keilmuan melalui Buntet Pesantren. Diantara karyanya yang ikut meramaikan jagat sosial media ialah Tafsir Al Quran di Medsos. Tulisan-tulisannya merespon keriuhan di dunia maya kerap muncul. Facebook, Instagram, maupun Twitter.

Yang lebih muda ada santri Abdul Wahab. Peraih juara 1 pada ajang Santripreneur Award 2018 untuk kategori kreatif melalui Distro Kang Santri. Serta juara 1 d'Preneur Berbagi Modal with Yamaha Lexi yang diadakan oleh Detik.com dan Yamaha. Santri yang pernah berdakwah di Papua ini menampilkan diri bisa menjadi pengusaha muda. Dari akun media sosialnya, ia kerap membagi pengalaman dan kisah menjadi pengusaha. Terjal dan penuh liku. (https://www.nu.or.id/post/read/99607/rahasia-sukses-abdul-wahab-melalui-distro-kang-santri).

Meski tidak mencetuskan startup, dari ketiga santri diatas menunjukkan peran dan kiprahnya. Bukan sebatas lini digital. Pola-pola pendekatan keumatan menjadi basis yang agaknya sulit disentuh para pegiat dunia maya. Sekarang, ketiganya aktif membagi cerita di media sosial. Teknologi yang belasan tahun silam jarang atau bahkan tidak mereka sentuh. Karena memang masa itu belum semaju sekarang. Toh, meski begitu hari ini secara teknologi mereka tidak ketinggalan.

Menyebut staf khusus (stafsus) milenial berlatarbelakang santri, maka pandangan mata langsung mengarah kepada Aminuddin Ma'ruf. Anak muda ini sebelumnya Ketua Umum PB PMII 2014-2016. Ia dikenal sebagai aktivis pergerakan. Lazimnya aktivis pergerakan, memang identik dengan sentuhan lapangan. Tidak berasal dari oligarki, konglomerasi, dan taipan. Lahir dari bawah. Masyarakat biasa. Sekilas membaca biodatanya, Amin adalah putra petani dari Kabupaten Karawang. Pasang-surut kehidupan sudah dilaluinya. Meski begitu, dengan status ring satu yang disandang, tidak lagi butuh drama-drama masa lalu. Amin dituntut mengikuti arahan Presiden Joko Widodo, tugasnya berkomunikasi dengan pesantren, santri, dan pemuda.

Aminuddin dituntut bisa berakselerasi dengan stafsus presiden lainnya. Ia akan dihadapkan pada sebuah pilihan, berkelindan dengan kerja-kerja digital sesuai dengan kondisi sekitarnya, menempuh jalur-jalur kultural khas pesantren, atau memadukan kedua aspek tersebut. Sebagaimana dituliskan Barry Render & Jay Heizer lingkungan kerja lingkungan fisik tempat karyawan bekerja yang mempengaruhi kinerja, keamanan dan mutu kehidupan kerja mereka. Sejauh mana para stafsus ini saling mempengaruhi?. Yang jelas, para santri menantikan manfaat dari stafsus milenial. Tanpa mencerabut karakter dan akar mereka dari dunia pesantren.

Komentar0

Type above and press Enter to search.