Oleh : Saidin, SH
Maraknya peredaran rokok ilegal di Nusa Tenggara Barat (NTB) kembali mencoreng kewibawaan aparat penegak hukum. Dengan anggaran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) tahun 2025 yang mencapai Rp. 610,8 miliar jumlah terbesar sepanjang sejarah NTB pemerintah pusat mengamanatkan sedikitnya Rp. 61 miliar khusus untuk penegakan hukum dan pemberantasan rokok ilegal.
Ironisnya, dalam rentang tujuh bulan pertama tahun ini, Bea Cukai Mataram hanya mempublikasikan satu operasi besar dengan barang bukti sekitar 1,5 juta batang rokok ilegal. Jika diuraikan, barang sitaan itu hanya setara 125.000 bungkus atau 12.500 slop. Angka ini sungguh tidak sepadan dengan masifnya peredaran rokok tanpa pita cukai yang secara terang-terangan dijual di toko-toko, kios, pasar malam, hingga diedarkan melalui ekspedisi daring.
Lebih memprihatinkan, data resmi Bea Cukai mencatat bahwa sepanjang tahun 2024 penindakan mencapai lebih dari 7 juta batang rokok ilegal. Namun pada 2025, meskipun anggaran penegakan hukum justru naik, capaian operasi yang diumumkan publik justru anjlok drastis. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar Ke mana larinya ratusan miliar rupiah anggaran DBH-CHT yang seharusnya dipakai untuk razia, patroli, dan penindakan berkala?
Bukan rahasia lagi, di lapangan banyak yang menduga bahwa lemahnya pemberantasan rokok ilegal bukan semata persoalan keterbatasan sumber daya. Ada dugaan kuat keterlibatan oknum penegak hukum dan aparat Bea Cukai itu sendiri yang sengaja “membekingi” jalur distribusi rokok ilegal. Dugaan ini menguat karena pola distribusi yang tetap lancar, meski pemerintah pusat berkali-kali menegaskan komitmen “Gempur Rokok Ilegal”.
Apabila benar bahwa sebagian oknum lebih sibuk menjaga “setoran lapangan” daripada menjalankan tugas pengawasan, maka publik berhak menyebut praktik ini sebagai pengkhianatan terhadap amanat undang-undang. Uang rakyat yang dikembalikan melalui DBH-CHT tidak lain adalah instrumen kesejahteraan dan pengendalian konsumsi rokok ilegal. Alih-alih digunakan optimal, dana puluhan miliar justru berpotensi menjadi bancakan segelintir pihak.
Kelemahan pengawasan Bea Cukai Mataram bukan hanya menciptakan kebocoran penerimaan negara, tetapi juga membunuh pabrik legal yang taat membayar cukai, mengganggu iklim usaha, dan memicu peredaran barang ilegal lain yang lebih berbahaya. Lebih jauh, publik patut menagih akuntabilitas kinerja berapa banyak razia yang sebenarnya telah dilakukan selama tujuh bulan? Berapa total barang bukti yang sudah diamankan? Berapa persen anggaran yang telah terserap?
Pemerintah Provinsi NTB, DPRD, dan aparat penegak hukum yang lebih tinggi wajib turun tangan memeriksa dugaan “main mata” antara distributor rokok ilegal dengan oknum penegak hukum. Ini bukan tuduhan kosong. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa suplai rokok ilegal terus mengalir tanpa hambatan, sedangkan penindakan nyaris tak terdengar kabarnya.
Masyarakat NTB tidak butuh slogan “Gempur Rokok Ilegal” jika implementasinya sekadar formalitas. Mereka menuntut pengawasan yang nyata, razia yang rutin, serta laporan berkala yang transparan. Jika Bea Cukai Mataram tidak segera membenahi diri, maka publik berhak mempertanyakan integritas seluruh jajaran yang diamanahi tugas menjaga penerimaan negara.
Saatnya pemerintah pusat dan aparat penegak hukum lebih tinggi memeriksa secara menyeluruh apakah anggaran penegakan hukum benar-benar dipakai sesuai peruntukannya, atau justru diselewengkan untuk melindungi bisnis rokok ilegal?Jika pembiaran ini terus berlangsung, maka kita semua menjadi saksi dari kebangkrutan moral birokrasi yang seharusnya berdiri di garda terdepan memberantas kejahatan fiskal.
Komentar0