Di zaman ketika segala hal dapat dilihat, dinilai, dan dibicarakan dalam sekejap mata, sikap sebagian umat (baca : masyarakat) terhadap pemimpin kerap melampaui batas keadilan. Kritik tidak lagi lahir dari cinta dan keinginan memperbaiki, tetapi dari perasaan tidak suka semata, karena berbeda kelompok, pilihan, atau aliran. Tidak sedikit yang menjadikan celaan sebagai bahasa sehari-hari, seakan pemimpin tak lebih dari bayang-bayang salah yang wajib dihantam.
Umat Islam, sebagai pewaris ajaran Rasulullah SAW, seharusnya memahami bahwa kepemimpinan adalah amanah berat, bukan ladang caci maki. Namun dalam praktiknya, banyak yang merasa diri paling benar, paling suci, dan paling layak untuk menilai, seolah pemimpin hanyalah objek kesalahan, bukan subjek tanggung jawab yang ditetapkan Allah.
Inilah zaman ketika adab sering tertinggal dari opini, dan akhlak kalah oleh hasrat untuk didengar.
Islam tidak membiarkan umatnya berjalan tanpa pedoman dalam menghadapi pemimpin, baik yang adil maupun yang zalim. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman : *_“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, serta ulil amri di antara kamu.”_*
(QS. An-Nisa: 59)
Ayat ini menjadi dasar bahwa ketaatan kepada pemimpin adalah bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul, selama dalam hal yang ma’ruf (kebaikan), bukan maksiat.
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda : *_“Dengarlah dan taatilah, sekalipun yang memimpin kalian adalah seorang budak Habsyi yang kepalanya seperti kismis.”_*
(HR. Bukhari)
Rasulullah SAW tidak hanya memberi batasan, tetapi juga memberi etika dalam memberi nasihat : *_“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa dalam suatu perkara, maka janganlah dia menasihati secara terang-terangan. Akan tetapi, ambillah tangannya dan menyepilah dengannya. Jika sang penguasa menerima (nasihatmu), itulah yang diinginkan. Jika tidak, maka dia telah menunaikan kewajibannya.”_*
(HR. Ahmad 3: 403, Ath-Thabrani dalam Musnad Asy-Syamiyyiin 2: 94, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096 dan yang lainnya. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Dzilaal As-Sunnah, 2: 507)
Hadits di atas dinilai dha’if oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu Ta’ala, sehingga beliau menyelisihi apa yang menjadi pendapat jumhur (mayoritas) ulama ahlus sunnah dalam masalah ini. Syaikh Muqbil membolehkan untuk mengkritik penguasa secara terbuka di forum-forum umum, selama niatnya baik dan tidak memberontak kepada penguasa. Akan tetapi, pendapat yang benar, Wallahu a’lam- adalah pendapat jumhur ulama ahlus sunnah yang melarangnya. Karena taruhlah hadits di atas dha’if, namun maknanya benar dan juga demikianlah praktek yang dicontohkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam menasihati penguasa.
Adapun Imam Nawawi menjelaskan bahwa : *_“Nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari agama, tetapi ia harus dilakukan dengan rahasia, kelembutan, dan tujuan memperbaiki, bukan mempermalukan.”_*
Dalam sejarah, para ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad bin Hanbal, pun mengajarkan untuk tidak memberontak kepada pemimpin yang zalim, selama ia masih menegakkan shalat dan tidak memerintahkan kekufuran secara terang-terangan. Kesabaran umat dalam menghadapi pemimpin adalah bagian dari menjaga keutuhan umat, bukan bentuk pembiaran terhadap kezaliman.
Tak hanya itu, Abu Nuaim Al Ashfahani Ahmad bin Abdillah, seorang ahli hadis dan ahli sejarah (326 H - 430 H) mengajarkan umat untuk mendoakan pemimpin : *_“Doakanlah kebaikan bagi pemimpin kalian, karena jika mereka baik, maka rakyat pun akan ikut dalam kebaikannya. Dan jika mereka rusak, maka rakyat pun akan ikut merasakan kerusakannya.”_*
Artinya, dalam setiap keberpihakan umat, harus ada satu ruang suci yang dijaga: doa, bukan sumpah serapah; nasihat, bukan fitnah; dan kesabaran, bukan pemberontakan.
Wahai umat (masyarakat),
jika engkau tidak mampu memimpin, jangan ringankan lisanmu untuk mencaci mereka yang sedang menanggung beban kepemimpinan. Jangan jadikan perbedaan pilihan politik sebagai dalih untuk membenci secara membabi buta.
Adab kepada pemimpin adalah bagian dari adab kepada Allah. Mengkritik boleh, tetapi dalam kerangka perbaikan. Menasihati adalah kewajiban, tetapi harus dengan rahmat. Dan mendoakan adalah bukti bahwa kita ingin negeri ini diberkahi, bukan dilaknati oleh lisan kita sendiri.
Biarlah kritik menjadi cahaya, bukan api.
Biarlah doa menjadi pelindung, bukan kutukan.
Dan biarlah lisan kita mencerminkan ilmu, bukan amarah yang tanpa adab.
Karena pada akhirnya, sejarah tidak mengenang siapa yang paling banyak mencela,
tetapi siapa yang paling ikhlas mendoakan negeri dan pemimpinnya dalam sepi.
Dan Tuhan tidak melihat siapa yang paling lantang berteriak, tapi siapa yang paling tenang dalam menjaga persatuan umat.
*Ya Allah, bimbinglah para pemimpin kami menuju jalan-Mu. Teguhkan mereka dalam keadilan, kuatkan mereka dalam amanah, dan lembutkan hati kami untuk bersabar dalam cinta dan adab.*
Aamin ya Rabbal ‘Aalaamin.
_Dr. Aka_
Komentar0