Seorang pelaku wisata M Than Tawi Jauhari atau yang kerab disapa Anton Cine mengungkapkan keprihatinannya atas insiden viral di teluk Ekas beberapa waktu lalu.
Sebagai seorang pelaku wisata yang telah lama bergelut menyarankan daerah-daerah yang menjadi destinasi wisata harus berbenah secara layak.
"Tamu-tamu akan more than happy untuk spend uangnya disana," kata pengelola Running Josie Sunset Corner yang sedang viral di Tanjung Aan bukit Pedau itu.
Dijelaskannya, untuk persoalan ombak, konflik personal dan muatan bisnis itu pasti selalu ada. Tapi ketika akan diterbitkan regulasi, haruslah berpatokan pada code of conduct yang berlaku secara umum di seluruh dunia dan merupakan konsensus diantara para surfer.
"Organ payung dunia itu ada WSL (World Surfing Assosiation), di Indonesia ada PSOI (Persatuan Selancar Ombak Indonesia). Pemda Kabupaten/ Kota maupun Pemprov harus memahami itu sebelum membuat sebuah regulasi. Di satu sisi, pengelolaan destinasi juga harus ditunjang dengan sarpras yang memadai, baru ada regulasi," terang Alumni Joglo tersebut kepada matanusantara.com, di akhir pekan ceria Sabtu (21/6/2025).
Ia memaparkan di ombak itu banyak istilah dalam teknik dan kode etik seperti diving, duck dive dll. Sering terjadi perkelahian antar surfer, tapi itu biasanya karena ada yang melanggar code of conduct seperti membahayakan surfer yang lain, tapi biasanya kasus selesai dan ketika naik ke darat sudah salaman.
Untuk konflik yang bermuatan ekonomi, pria humble ini meminta Pemda harus lebih bijak lagi dalam tata kelola meliputi Sarpras dan regulasi yang baik.
"Saya menegaskan kembali Surfing tidak bisa diregulasi, hanya berupa code of conduct antar surfer. Ombak di seluruh dunia tidak bisa diregulasi. Sudah jadi norma etika umum di dunia. Yang bisa diregulasi adalah penataan kawasan penunjang spot surfingnya," ujarnya lagi.
Yang paling penting imbuh dia, bagaimana pemda mengatur antar pelaku usaha wisatanya, bagaimana retribusinya di darat, dll. Regulasinya itu kesepakatan Pemda dan pelaku usaha. Terserah nanti mau ngaturnya bagaimana.
"Tapi yang jelas, di Ekas ini butuh sarana dan prasarana yang memadai. Toilet aja amburadul ditambah lagi anjungan sandar boatnya yang tidak memadai. Tuntutannya akan banyak ke Pemda Lotim dulu sebagai penyedia kawasan dan sarprasnya, baru bisa regulasi," kata dia.
Ia menceritakan tamu-tamu yang dari Kuta jelas lebih memilih naik di Awang, kemudian nanti di Ekas bisa nyandar dengan nyaman, belanja makan dll dengan nyaman, itu saja.
"Misalnya boatman dikenakan tarif nyandar perahu juga tidak masalah, yang penting tamu tamu itu nyaman," tukasnya.
Ia menyebut sering terjadi ada persoalan ketika ditengarai beberapa WNA yang punya property di Ekas sering bawa tamunya langsung dan jadi guide serta instruktur tanpa VISA yang lengkap.
"Mereka bahkan WNA ini sering arogan dengan pelaku wisata lokal. Dulu teman saya sempat berantem dengan salah satunya orang Inggris, lalu temen saya itu dipenjara 3 bulan. Kesannya pemprov dibawah kepemimpinan sebelumnya lebih membela "investor"," tutur Anton.
Ia mengungkapkan bahwa pebisnis asing di Ekas itu mau menguasai spot surfing di Ekas itu supaya jadi milik mereka.
"Di Ekas itu belum ada murni pebisnis lokal yang menjalankan usaha surfing. Kalaupun ada yang kerja di surfing, mereka kerja sama orang asing, yang notabene mempunyai property di Ekas," tandasnya.(red)
Komentar0