Oleh: M. Fathurrozi, SH.
(Ketua Koperasi Merah Putih Tanak Awu)
Keberhasilan Paragliding Accuracy World Cup (PGAWC) 2025 di Lombok Tengah memang layak mendapat applause. Event internasional ini membawa nama NTB ke panggung dunia dengan 40 pilot Indonesia dan atlet dari 9 negara yang berkompetisi di langit Lombok. Presiden PGAWC, Ugljesa Jondziq, bahkan menyebut event di Lombok sebagai "yang terbaik dalam sejarah." Sebagai debut pertama yang harus terus disempurnakan, ada pertanyaan yang menggelitik: Apa artinya event sebesar ini bagi desa-desa di sekitarnya?
Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, menggaungkan konsep Quality Tourism yang mengutamakan kesejahteraan masyarakat. Namun, tanpa eksekusi yang nyata, event ini bisa jadi hanya "pesta sesaat" yang tak meninggalkan jejak berarti bagi warga desa. Dari perspektif masyarakat yang tinggal di desa Tanak Awu Kecamatan Pujut, wilayah yang strategis dekat Bandara dan KEK Mandalika. Peluang besar ini masih terbuka lebar dan menunggu untuk dioptimalkan.
Event ini bukan hanya soal atlet terbang di langit Lombok, tapi bagaimana warga desa, termasuk desa-desa di Kecamatan Pujut, bisa merasakan dampak ekonomi dan sosial yang berkelanjutan. Ketika ribuan mata dunia tertuju pada NTB, momentum ini harus dimanfaatkan untuk mengangkat desa dari pinggiran menjadi bagian integral dari narasi pariwisata berkualitas. Pemberdayaan (empowerment) adalah kata kunci: desa tak boleh sekadar jadi penutup panggung, tapi harus jadi pemain utama dalam orkestra pariwisata berkualitas.
Dari Infrastruktur Fisik Menuju Pemberdayaan Masyarakat
Event internasional sering diukur dari kilau infrastruktur: jalan mulus, bandara megah, atau hotel bintang lima. Tapi, di NTB, pendekatan ini harus bergeser. Keterlibatan masyarakat desa jauh lebih penting ketimbang tumpukan beton. Bayangkan homestay warga jadi tempat menginap atlet, UMKM lokal memasok kuliner khas seperti ayam taliwang dan plecing kangkung, atau pemuda desa dilatih jadi pemandu wisata udara. Ini bukan pelengkap, tapi pondasi ekonomi yang langsung menyentuh warga.
Di desa-desa sekitar event digelar, potensi pemuda setempat untuk tidak lagi hanya menjadi penonton sangat terbuka. Program pelatihan 60 atlet paragliding lokal dengan beasiswa adalah langkah yang patut diapresiasi, dan angka ini masih bisa diperbesar. Ketika 40 pilot Indonesia ikut kompetisi ini, itu sinyal bahwa pelatihan olahraga udara bisa jadi pintu masuk untuk mengembangkan SDM lokal lebih luas lagi.
Harus ada kolaborasi yang kuat antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten. Dimana Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah dapat menangkap peluang emas ini sebagai tuan rumah, terutama langkah proaktif dalam menyiapkan infrastruktur pendukung yang terintegrasi. Misalnya, pusat pelatihan paragliding, fasilitas penyimpanan peralatan, workshop maintenance, dan yang terpenting program pemberdayaan ekonomi kreatif yang langsung menyentuh warga. Bukan saatnya lagi berkeluh kesah atau saling melempar tanggung jawab.
Lebih dari itu, kehadiran atlet internasional membuka peluang transfer knowledge yang tak ternilai. Program mentoring antara pilot internasional dengan pemuda lokal bisa menjadi investasi jangka panjang. Bayangkan jika dalam 5-10 tahun ke depan, NTB tidak hanya menjadi tuan rumah, tetapi juga menghasilkan pilot-pilot berkelas dunia dari desa-desa di Pujut. Tanpa visi jangka panjang seperti ini, potensi transformatif dari event global hanya akan menjadi angan-angan belaka.
Quality Tourism: Membangun Brand Desa di Panggung Dunia
Konsep Quality Tourism yang digaungkan Gubernur Iqbal bukan soal kemewahan, tapi tentang memuliakan lokalitas dan menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan. Saat atlet dari 9 negara mendarat di Lombok, mereka harusnya tak hanya menikmati pemandangan dari atas, tapi juga kehidupan desa, mencicipi kopi robusta lokal, melihat proses tenun Sasak yang rumit, atau membeli kerajinan tangan anyaman pandan.
Kabar baiknya, langkah awal sudah terlihat. Penyajian makanan tradisional seperti cerorot, abuk, kelepon, dan cendol kepada tamu internasional adalah diplomasi budaya yang tepat sasaran. Begitu juga dengan pemberian kesempatan berjualan kopi keliling dan produk lokal lainnya. Ini bukan sekadar suvenir atau hiburan, tapi langkah nyata yang membawa keuntungan langsung bagi warga.
Di Pujut, potensi wisata budaya dan alam yang bisa dilirik dunia sangat melimpah. Event seperti PGAWC adalah panggung promosi yang tak ternilai, tapi momentum ini perlu diperkuat dengan program yang lebih sistematis. Gubernur dengan program "Desa Berdaya"-nya harus bertindak cepat, terutama fasilitasi akses pasar bagi produk lokal ke jaringan global yang terbuka lewat event ini. Platform digital, pelatihan packaging, dan sertifikasi halal untuk produk makanan berkualitas (proper) adalah langkah-langkah praktis yang bisa diimplementasikan segera.
Yang tak kalah penting adalah menciptakan storytelling yang kuat. Setiap produk desa harus punya cerita yang menyentuh, tentang tangan-tangan terampil yang membuatnya, tradisi turun-temurun yang dilestarikan, dan filosofi hidup masyarakat Sasak yang tercermin dalam setiap karya. Misalnya, ketika turis internasional membeli kerajinan dari Tanak Awu, mereka tidak hanya membeli barang, tetapi membawa pulang sepotong jiwa NTB.
Desa harus jadi "brand" yang berdiri tegak di panggung dunia, dengan identitas yang kuat dan produk yang kompetitif. Momentum PGAWC 2025 adalah kesempatan emas untuk membuktikan bahwa desa-desa di NTB bukan hanya indah dipandang, tetapi juga kaya makna dan berkontribusi nyata bagi peningkatan perekonomian dan kesejahteraan.
Setelah lampu panggung padam, apa yang tersisa untuk desa? Event one-off tak boleh jadi jebakan. Beruntung, komitmen Gubernur NTB untuk program "Desa Berdaya" dan peningkatan keterlibatan masyarakat memberikan harapan bahwa PGAWC 2025 bukan sekadar tontonan sesaat. Di Tanak Awu, kami di Koperasi Merah Putih ingin produk lokal kami bisa bersaing di pasar yang lebih luas berkat momentum yang tercipta dari event ini.
NTB punya kesempatan membuktikan bahwa event global tak harus meninggalkan desa di belakang. Melalui program Desa Berdaya, Desa-desa seperti Tanak Awu yang strategis dekat Bandara dan KEK Mandalika, menggantungkan harapan untuk disentuh dan diberdayakan. Akhirnya, Penulis ingin sekali pelagak lekong belah dengan Gubernur Iqbal, sambil bergumam bahwa bagi NTB, Quality Tourism adalah soal martabat, dan martabat itu lahir dari desa yang berdaya, produktif, dan bangga akan identitasnya. Jika visi ini terwujud, dunia tak hanya akan ingat Lombok karena paragliding-nya yang spektakuler, tapi juga karena desa-desa di NTB yang bangkit bersama menuju kemakmuran.
Komentar0