BSA7Gpd8GUz5TproTprpTfA7Gi==

PARADOKS NTB: KETIKA ANGKA STATISTIK LEBIH VIRAL DARI KORUPSI RATUSAN MILIAR


Oleh: M. Fathurrozi, SH.

(Pegiat Diskusi “Langgam Temu”)

Di tengah keriuhan kontraksi ekonomi Nusa Tenggara Barat (NTB) sebesar -1,47%, ada satu pertanyaan yang seolah sengaja diluputkan dari perhatian, mengapa tidak seriuh ketika ratusan miliar dana rakyat dikorupsi?

Data dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga Mei 2025 mengungkapkan fakta mencolok, korupsi adalah krisis nyata yang menggerus kesejahteraan 5,6 juta warga NTB. Sementara sebagian pihak asyik mempermainkan angka statistik untuk kepentingan politik, Gubernur Lalu Muhamad Iqbal justru mengambil langkah tegas dengan melakukan forensik anggaran di awal masa jabatannya.

Langkah ini bertujuan mengungkap bagaimana anggaran sebelumnya dikelola, sesuatu yang sayangnya jarang menjadi sorotan utama. Padahal, dugaan korupsi oleh oknum-oknum di masa lalu menjadi penyebab utama mandeknya program vital yang berdampak langsung kepada kesejahteraan masyarakat.

Kontraksi vs Korupsi: Mana yang Lebih Merusak?

Sebuah artikel berjudul "Mendagri Tegur Gubernur Iqbal, Ekonomi NTB Minus..." mengkritik kinerja Gubernur Iqbal. Namun, kritik semacam itu justru mengaburkan akar masalah yang lebih mendesak yakni korupsi telah menjadi tumor yang menghambat pertumbuhan ekonomi, terutama di sektor non-tambang.

Kontraksi ekonomi dapat dipicu oleh faktor eksternal yang sulit dikendalikan, seperti fluktuasi harga tembaga di pasar global dan kebijakan larangan ekspor mineral mentah oleh pemerintah pusat. Berdasarkan laporan keuangan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMMN) per 31 Maret 2025, penjualan bersih perusahaan hanya mencapai US$2,12 juta, anjlok 99,66% dari US$601,55 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan drastis ini disebabkan oleh larangan ekspor konsentrat, yang membuat penjualan tembaga dan emas nyaris terhenti pada kuartal pertama 2025.

Kondisi ini menunjukkan bahwa kontraksi ekonomi NTB lebih disebabkan oleh kebijakan makro dan dinamika pasar global, bukan semata-mata kesalahan pemerintah daerah. Sektor tambang yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi NTB memang mengalami guncangan hebat, namun ini adalah konsekuensi dari transisi menuju hilirisasi industri yang dicanangkan pemerintah pusat.

Di sisi lain, korupsi ratusan miliar di sektor riil adalah kejahatan terencana yang dilakukan oleh oknum pejabat. Salah satu contohnya adalah dugaan korupsi proyek NCC senilai Rp15,2 miliar, yang seharusnya menjadi pusat ekonomi kreatif NTB, namun malah dikorupsi dan akan memasuki tahap persidangan.

Ada pula kasus Shelter Tsunami senilai Rp19 miliar yang sedang ditangani KPK, serta sederet kasus lain seperti dugaan korupsi di PT Gerbang NTB Emas, Dana Alokasi Khusus (DAK) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB 2024, Lombok-Sumbawa Motocross Event, lahan MXGP Samota, bantuan ayam petelur Disnakeswan NTB (yang statusnya dihentikan sementara), hingga pengadaan masker Covid-19 yang telah menetapkan tersangka. KPK bahkan menyebut sedang menangani 12 kasus korupsi di NTB hingga awal 2025.

Sangat memprihatinkan, korupsi ini terjadi di sektor-sektor yang langsung menyentuh kehidupan rakyat. Dana pendidikan yang seharusnya membangun masa depan anak-anak NTB, bantuan sosial untuk keluarga miskin, hingga program kesehatan masyarakat, semuanya menjadi sasaran empuk para koruptor. Dampaknya bukan hanya kerugian finansial, tetapi juga hancurnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Pertanyaannya sederhana, mana yang lebih merusak, kontraksi ekonomi akibat dinamika global atau korupsi yang sengaja menguras uang rakyat untuk kepentingan segelintir orang?


Langkah Nyata Gubernur Iqbal: Dari Forensik hingga Reformasi

Iqbal menjadi gubernur pertama di NTB yang berani membongkar penggunaan anggaran masa lalu melalui forensik anggaran, menunjukkan komitmen terhadap transparansi. Langkah ini bukan tanpa risiko politik, mengingat banyak pihak yang merasa terancam dengan pembongkaran kasus-kasus lama. Namun, keberanian ini justru menunjukkan bahwa Iqbal serius dalam memberantas korupsi.

Forensik anggaran yang dilakukan tidak hanya sebatas audit biasa, tetapi penelusuran mendalam terhadap alur dana, mekanisme pengadaan, hingga penerima manfaat sesungguhnya dari setiap program. Hasilnya akan menjadi landasan penting untuk memperbaiki tata kelola keuangan daerah di masa mendatang.

Di tengah kontraksi sektor tambang, sektor non-tambang seperti pertanian, UMKM, dan pariwisata justru tumbuh 5,57%, membuktikan adanya diversifikasi ekonomi. Angka ini signifikan mengingat sektor non-tambang lebih banyak menyerap tenaga kerja dan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat kelas menengah ke bawah.

Program-program seperti pengembangan ekonomi kreatif, penguatan UMKM melalui platform digital, dan revitalisasi sektor pariwisata mulai menunjukkan dampak positif. Pertumbuhan sektor pertanian juga didorong melalui program modernisasi irigasi dan bantuan teknologi kepada petani.

Iqbal juga memperbaiki tata kelola Bank NTB Syariah dengan membuka rekrutmen terbuka, langkah bersejarah yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa posisi-posisi strategis diisi oleh orang-orang yang kompeten dan berintegritas, bukan karena pertimbangan politik semata.

Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa Gubernur Iqbal tidak sekadar membangun citra, tetapi mengambil tindakan nyata untuk memperbaiki sistem yang selama ini mandek oleh dugaan-dugaan korupsi. Tentu saja, perubahan tidak bisa terjadi dalam semalam, tetapi arah yang ditempuh sudah tepat.

Gubernur Iqbal bukan penyihir yang mampu mengubah nasib ekonomi NTB dalam sekejap. Namun, ia tengah melakukan sesuatu yang jauh lebih berarti, memutus rantai korupsi yang telah lama menyengsarakan rakyat. Rakyat NTB tidak membutuhkan janji manis atau pencitraan kosong. Mereka membutuhkan jaminan bahwa dana publik tidak lagi diselewengkan.

Dugaan korupsi DAK Pendidikan senilai Rp42 miliar harus segera diusut hingga tuntas, dan pelakunya dipenjara. Kasus proyek NCC senilai Rp15,2 miliar perlu diperdalam untuk mengungkap siapa saja yang terlibat dalam menjarah kesejahteraan publik. Serta, setiap rupiah APBD 2025 harus dialirkan ke sektor produktif, sawah petani, kapal nelayan, dan sekolah anak-anak, bukan ke kantong para koruptor.

Akhirnya, penulis ingin mengajak Gubernur Iqbal untuk ngupi di sekepat pinggir sawah, seraya mendesak agar hasil forensik anggaran segera ditindaklanjuti dengan proses hukum yang tegas. Jadikan NTB sebagai teladan dalam pemberantasan korupsi. Jika ini tercapai, kontraksi ekonomi -1,47% akan menjadi angka kecil dibandingkan kebahagiaan rakyat yang akhirnya terbebas dari belenggu korupsi. Sebab, selama korupsi belum diberantas hingga ke akar-akarnya, pertumbuhan ekonomi setinggi apa pun hanyalah ilusi yang tak akan pernah dirasakan oleh rakyat NTB.

Komentar0

Cari Berita Lain di Google News

Type above and press Enter to search.