BSA7Gpd8GUz5TproTprpTfA7Gi==

Presiden Gusar – Menteri Tak Punya Sense of Crisis


Oleh : Burhanuddin Saputu, S.Pd, M.Si.

Alumnus Pascasarjana FISIP Universitas Indonesia.


Tidak biasanya Presiden marah. Tapi kali ini Presiden Jokowi untuk pertama kalinya marah besar bercampur kecewa dengan nada tinggi ditujukan kepada para pembantunya. Ketika menyampaikan pidato pembukaan rapat paripurna kabinet indonesia maju di Istana Negara Jakarta, Kamis 18 Juni 2020.

Sejak wabah virus Corana melanda negeri ini presiden telah mengintruksikan kepada para pembantunya agar penanganan wabah penyakit ini dilakukan secara terpadu/integral.

Hal yang kemudian diperkuat dengan Keppres  Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Dengan tugas utama  mengerahkan sumber daya untuk mempercepat penanganan wabah penyakit, lewat  sinergi antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Artinya penanganan Covid-19 harus dikeroyok oleh pemerintah pusat dan daerah melalui Gugus Tugas.

Saat ini jumlah orang positif Covid-19 makin melonjak, namun itu jangan dilihat skeptisisme tapi lebih pada efektifitas kerja tenaga medis dalam melacak sebaran virus Corona di masyarakat. Sebetulnya ketika mendapatkan orang positif, berarti semakin mudah melokalisir sebaran virus Corona. Inilah sesungguhnya wujud dari perintah Presiden Jokowi saat rapat terbatas melalui telekonferens video “segera lakukan rapid test dengan cakupan lebih besar.”(19/3/2020)

Memang sampel yang diperiksa masih sangat jauh bila diperbandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang 267 juta jiwa sebagaimana cara pandang WHO. Namun sebaran virus Corona di Indonesia tak bisa dilihat linear seperti itu karena struktur masyarakat Indonesia bersifat komunal, yaitu masyarakat dengan tradisi patron-klien. Apa kata sang patron maka serta merta akan diikuti bahkan ditaati oleh klien.

Dengan demikian bila pemerintah pusat dan daerah pandai melakukan pendekatan kepada para patron yang ada di masyarakat,  sebetulnya akan sangat mudah menghadapi terpaan virus Corona. Terobosan melalui pendekatan sosiologis dan kultur lewat para patron akan memuluskan penerapan Protokol Kesehatan untuk memulihkan fondasi kesehatan dan ekonomi masyarakat.

Jadi tidak terpaku pada pendekatan struktural semata, pendekatan sosiologis dan kultur juga musti digunakan. Hal itu dimungkinan yaitu pelibatan “unsur lainnya yang diperlukan” sebagaimana bunyi pasal 8 Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020 mengenai Perubahan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Itulah antara lain sesungguhnya yang dimaksudkan Presiden Jokowi kepada para pembantunya “lakukan terobosan”.

Jadi keliru atau setidaknya kurang efektif bila mengatasi masalah Covid-19 hanya memilih pendekatan struktural tetapi mengabaikan aspek sosiologis serta kultur masyarakat. Ini terlihat pada beberapa fakta, seperti perlawanan masyarakat pedagang di pasar-pasar tradisional ketika hendak dilakukan rapid test oleh petugas medis. Atau pengambilan  paksa jenazah positif Covid-19 oleh keluarga dibeberapa rumah sakit.

Serta keributan antara keluarga pasien yang berobat karena diklaim pihak rumah sakit sebagai pasien positif Covid-19. Dan terakhir soal pemakaman jenazah pasien positif Covid-19 yang bermasalah.

Lalu ditengah suasana krisis seperti saat ini beberapa pembantu presiden di kementerian/lembaga bekerja secara datar saja, sebagaimana narasi pidato Presiden Jokowi. Bahkan diantaranya sibuk mengutak-atik posisi lalu menggusur-gusur orang guna menempatkan kelompoknya.

Lupa kalau rakyatlah yang mendaulat Jokowi untuk kembali menjadi presiden RI melalui pemilu 2019 lalu, termasuk relawan ikut berkeringat menangkan Jokowi. Saya percaya relawan Jokowi akan hadir bila diperlukan. Mereka memiliki ideologi dan militansi kuat meski saat ini berada di garis pinggir tetapi tetap berdiri tegak lurus di belakang Jokowi - sang pemimpin mereka. Mereka adalah kelompok masyarakat bagai istilah yang oleh James Scott (1983) menyebutnya masyarakat dengan tradisi patron-klien.

Sisi lain bila perilaku kerja dan perilaku politik seperti dimaksudkan di atas dibiarkan, tentu akan menyulitkan bukan hanya terkait dengan konsolidasi dan mobilisasi, tetapi juga berbahaya bagi keberlanjutan nasib politik Jokowi. Untuk itu Presiden Jokowi dalam pidatonya kembali menegaskan akan saya pertaruhkan reputasi politik saya” (18/6/2020)).

Itulah antara lain deretan masalah yang klimaksnya membuat Presiden Jokowi marah, kecewa serta jengkel pada para pembantunya yang tak bisa mengelola kondisi krisis dengan baik agar Indonesia bisa cepat keluar dari lilitan pandemi Covid-19.

Sambutan Presiden Jokowi berintonasi tinggi ketika pembukaan rapat paripurna kabinet indonesia maju dipandang oleh banyak kalangan sebagai peringatan kepada para pembantunya yang tak senada pada upaya percepatan penanganan Covid-19. Hanta Yuda menilai Presiden Jokowi sesegera mungkin mereshuffle kabinetnya.

Hal yang berbeda dengan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang mengibaratkan ancaman reshuffle yang disampaikan sebagai rencana cadangan, sebisa mungkin hal itu tak terjadi karena ketika situasi cadangan dikeluarkan, maka situasi mulai sangat jelek (29/6/2020).

Jika dicermati secara mendalam ada yang tersirat dibalik pengibaratan itu, padahal Presiden Jokowi secara jelas dan tegas mengatakan “Saya membuka entah yang namanya langkah-langkah politik, entah langkah-langkah kepemerintahan akan saya buka. Langkah apapun yang extraordinary akan saya lakukan untuk 267 juta rakyat kita, untuk negara. Bisa saja membubarkan lembaga, bisa saja reshuffle.”(18/6/2020)

Bila dilihat dari sudut pandang semiotika (ketandaan) ilmu pengetahuan yang mempelajari tanda-tanda dan proses tanda, maka Presiden Jokowi telah memberikan kode akan membubarkan lembaga yang tak efektif dan akan mengganti menteri yang tak satu frekwensi terkait dengan penanggulangan wabah virus Corona.

Namun manakala hal itu tak terjadi, maka akan benar apa yang dikatakan Hanta Yuda “menteri dan publik akan menilai bahwa itu hanya ancaman saja”. Atau seperti kata Rocky Gerung, “ancaman itu tak serius, anggap aja drama korea, drako istana.”(29/6/2020)

Lepas dari soal seperti apa drama politik istana, tetapi rakyat Indonesia tetap menanti gebrakan demi gebrakan dari seorang Presiden Jokowi - sang pemimpin untuk menghentikan wabah Covid-19 di tanah air ini, Indonesia.*
---000---

Komentar0

Type above and press Enter to search.