BSA7Gpd8GUz5TproTprpTfA7Gi==

Mega vs SBY di Balik OTT KPK kepada KPU


Ditulis oleh: Dani Ramdani
Email: dani_kkipb@yahoo.com


Ada kejutan menarik pada minggu ini yaitu Operasi Tangkap Tangan KPK terhadap salah satu komisioner KPU Wahyu Setiawan.  Namun berita ini menjadi bumbu yang lezat justru bukan pada berita penangkapannya namun pada cuitan Andi Arief, politisi Demokrat yang mengatakan ada inisial S dan D yang merupakan staf Sekjen Partai Besar.

Cuitan Andi Arief kemudian ditangkap oleh TEMPO dan media inilah yang pertama kali mengeluarkan siapa inisial S dan D dalam operasi penangkapan kemarin. Berita dari TEMPO mendahului keterangan resmi KPK dan mau tidak mau seperti ada upaya pembentukan opini publik. Dalam kasus OTT KPK terhadap KPU lalu muncullah 'punch line' dalam pemberitaan ini : "Hasto Kristiyanto" Sekjen PDI Perjuangan yang dikait kaitkan dengan nama S dan D dalam pemberitaan TEMPO. Menariknya beberapa media besar berjarak dan menunggu penjelasan resmi dari KPK siapa sesungguhnya S dan D yang disebut sebut sebagai Staf Sekjen PDI Perjuangan. Dari dua nama itu hanya inisial "S" yang dijadikan tersangka sementara "D" tidak dijadikan tersangka diluar nama Wahyu Setiawan dan orang yang disebut sebut sebagai kepercayaan Wahyu Setiawan yang bernama Agustina Tio Fridelina.

Dalam kasus ini ada dua hal yang menarik "Ucapan kiriman pesan Wahyu Setiawan  kepada Agustina Tio Fridelina "Siap Mainkan..." dan tentunya cuitan Andi Arief yang menjadi konfirmasi pada pers dalam memunculkan nama sebelum ada keterangan resmi dari KPK dan terakhir yang tak kalah menarik adalah "Penangkapan KPK selalu di hari hari penting PDIP" tiga hal inilah yang jadi perhatian saya dan bagi saya peristiwa yang melibatkan banyak penggede politik dan permainan permainan proxy dibaliknya selalu ada rentetan pertarungan politik yang mendahului. Dan uniknya peristiwa OTT KPK bagi saya lebih pada gambaran tarik menarik politik yang lebih besar ketimbang peristiwa penangkapan itu sendiri. 

Bagi saya  sebagai seorang jurnalis politik apa yang terjadi pada peristiwa OTT KPK ada yang lebih besar "Pertarungan terus menerus antara Megawati dan SBY" sulit bagi kita menjaga jarak antara peristiwa ini dengan pertarungan abadi PDIP vs Demokrat karena justru berita paling penting dari kasus ini muncul dari Andi Arief seorang pentolan Demokrat yang dipercaya oleh SBY untuk menjalankan pernyataan pernyataan kerasnya di publik. Andi Arief menempatkan posisi politiknya untuk menjadi mesin penyerang Hasto Kristiyanto, setelah Andi Arief barulah politisi demokrat yang lain Ferdinand Hutahean yang sejak awal ditugaskan SBY menyerang Jokowi kini menjadi mesin tandem serangan Andi Arief ke PDIP . Sejak kampanye politik 2019 upaya Andi Arief dalam melakukan serangan politik ke PDIP lebih difokuskan kepada Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP.

Cuitan di Twitter Andi Arief, kemudian media investigasi TEMPO yang meminta ijin memuat cuitannya serta framing "Staf Sekjen PDIP" dengan inisial "S" dan "D" yang terus menerus dimuat dalam redaksi pemberitaan tentunya secara komunikasi politik gampang dibaca pihak PDIP bahwa ini adalah serangan politik Partai Demokrat ke PDIP dengan menggunakan momentum OTT KPK. Bahkan di sore hari setelah Hasto Kristiyanto mendampingi Megawati, ia melakukan konferensi pers yang sebenarnya hal itu ditujukan pada pihak dibelakang serangan ini yang melakukan politik framing "Staf Sekjen PDIP" bahwa ada staf PDIP yang bernama Doni dan itu bukan Doni yang ditangkap. Jelas disini PDIP sudah membaca alur serangan

Bisa dibacanya PDIP bahwa apa yang terjadi di KPK dan upaya serangan "orang-orang Demokrat" yang mengutamakan Sekjen PDIP sebagai sasaran politik tentunya mudah dibaca Megawati. Untuk itulah kemudian justru secara implisit Megawati menjawab serangan politik Demokrat dengan membawa Hasto Kristiyanto selalu disampingnya terus dalam Rakernas PDIP 10 Januari 2020, sebagai pesan senyap kepada SBY "Saya sudah mengerti permainanmu".

Dalam memahami politik di Indonesia ada semacam komunikasi politik yang unik. Para petinggi politik tidak banyak bicara dan yang melakukan pertarungan adalah "orang-orang dibawahnya" dan uniknya setiap orang memiliki tugas dan alurnya sendiri, bagi para jurnalis politik kawakan tentunya sudah bisa memahami bagaimana "bila A" bicara maka alur serangannya kemana, bagaimana latar belakang pertarungannya dan jenis apa yang dibicarakan. Sebagai misal Ferdinand Hutahean di Demokrat diposisikan sebagai pengganti peran Ruhut Sitompul yang spesialisasi terhadap "serangan kasar", sementara Andi Arief seorang politisi berbasis aktivis serangannya lebih pada "tembakan tembakan" kepada para elite seperti kasus kardus Prabowo, sementara bila agak halus maka diserahkan pada Syarief Hasan. Inilah bahasa SBY dalam melakukan komunikasi politik, begitu juga Megawati, bila komunikasi politik serangan dibawakan oleh Adian Napitupulu yang fungsinya agak mirip dengan Andi Arief, bila serangan itu ke soal sistem dan lebih masuk ke dalam tatanan pemerintah peranan itu dibawakan oleh Prof. Hendrawan Supratikno dan soal soal yang lebih ke persoalan politik sehari hari maka Eva Kusuma Sundari menjadi public relation PDIP. Pola pemberitaan ini tentunya sudah jadi makanan sehari hari bagian riset media. Nah dalam OTT KPK kepada KPU kemarin dengan framing "Staf Sekjen PDIP" ketara sekali ada serangan politik Demokrat ke PDIP juga diikuti pola yang sama yaitu : "Serangan dilakukan pada hari hari penting PDIP" dalam ilmu militer serangan pada hari yang dianggap penting dan sakral bukanlah serangan militer yang mematikan namun ditujukan untuk propaganda.

Kenapa Demokrat Perlu Menghajar PDIP

Suara Demokrat yang sudah hancur hancuran, gagalnya popularitas AHY dan tidak masuknya AHY ke dalam kabinet Jokowi jilid II jelas menjadikan posisi Demokrat turun ratingnya dan tidak lagi menjadi arus utama politik di Indonesia. Sikap Demokrat yang enggan pada posisi oposisi yang praktis hanya ditempati oleh PKS serta malasnya Demokrat merapat pada Gerindra dimana Gerindra saat ini dekat sekali dengan kubu PDIP menjadikan Demokrat tidak punya positioning sama sekali.  Apalagi Demokrat harus berpikir keras bagaimana membongkar "kayu kayu lintang" bloking Megawati kepada SBY agar tidak lagi masuk ke dalam sistem kekuasaan. Inilah yang membuat Demokrat harus mengambil langkah langkah terobosan politik dan yang terbaik adalah "Serang PDIP utamanya Sekjen PDIP" dengan melakukan framing serangan kepada posisi Sekjen PDIP maka Demokrat berpeluang untuk melakukan "positioning" politik serta secara perlahan melakukan langkah langkah politik penguasaan wilayah yang sudah direbut kembali PDIP pada Pilkada-Pilkada lalu.

Dalam berbagai Pilkada dan Pileg, Demokrat mengalami kehancuran total. Satu satunya kemenangan penting justru di Jawa Timur itupun dengan membajak Emil Dardak kader PDIP untuk dijadikan Wagub Jawa Timur.

Demokrat juga merasa beberapa serangan politik besar dilakukan oleh Sekjen PDIP kepada mereka dan ini bisa dianatomi oleh cuitan cuitan twitter Andi Arief kepada PDIP atau khususnya kepada Sekjen PDIP yang selalu dijadikan sasaran tembak PDIP. Serangan ini juga bisa dikatakan aksi balasan pada bentuk serangan Adian Napitupulu yang dulu dituduh melakukan "kepungan ke rumah SBY" di Jalan Kuningan Jakarta. Penggunaan Andi Arief dan Ferdinand Hutahean jelas akan membuka pintu posisi politik Demokrat lebih tinggi. Ini juga sesuai dengan "Hoki SBY" yang selalu menjadikan Megawati sebagai pihak arogan sementara pihaknya sebagai "orang yang melawan arogansi Megawati" pola komunikasi seperti ini sudah jadi hapalan banyak analis politik dan orang orang Indonesia yang minat terhadap peristiwa politik dimana disitu ada "kemenangan SBY" maka "harus ada Megawati yang diserang", dan siapa lagi proxy Megawati saat ini kecuali Hasto Kristiyanto, sekjen andalan Megawati dan orang yang dianggap sebagai pusat dari segala gerakan PDIP.

Anatomi redaksional terhadap pola pola  komunikasi politik seperti ini menjadi penting dalam memahami bagaimana  komunikasi politik dan percaturan politik kita terjadi. Karena dengan pola pola politik seperti ini bisa dipahami alur alur perkembangannya seperti munculnya tokoh politik baru, permainan politik dan kebijakan kebijakan strategi politik yang mengikutinya.

Tapi yang perlu diperhatikan jangan sampai KPK digunakan lagi sebagai bentuk alat permainan politik. Seperti sebagai alat gertak, alat nego politik atau lebih seram lagi alat pemerasan seperti yang diisukan pada masa lalu.

Komentar0

Cari Berita Lain di Google News

Type above and press Enter to search.