BSA7Gpd8GUz5TproTprpTfA7Gi==

PUASA DAN MATINYA PRAKARSA KEBAIKAN


Oleh Drs Cukup Wibowo MMPd
Sekretaris Dinas Perhubungan Kota Mataram

Seperti berdiri di persimpangan,
kita tidak lagi menjadi diri kita sendiri.
Kita bahkan telah menjadi hamba dari persekutuan
untuk memuja kehebatan duniawi sebagai orientasi.

Kehidupan ini tak ubahnya pengulangan kisah atas kisah. Jagat raya serta bumi dan seisinya telah membuktikan atas terjadinya pengulangan itu, mengabdi pada ketentuan dari sebuah sistem kehidupan yang telah ditetapkan oleh Sang Maha Pengatur Kehidupan. Sebagai salah satu penghuni bumi, manusia juga demikian, berada dalam ketentuan dan ketetapan dengan melewati waktu dalam histori panjang yang berisi cerita tentang kegemilangan, kehancuran, dan tragedi oleh lakon tentang kekuasaan, cinta, dan pengkhianatan.

Berabad-abad kisah manusia sebagai aktor utamanya tak pernah bergeser dari skenario besar yang harus dimainkan dalam peran kebaikan dan keburukan yang selalu dalam posisi saling berseberangan. Dalam kepatuhan atau pemberontakannya itu, manusia memiliki kebebasan untuk mempercayai takdir atau harapan yang bisa diwujudkannya sendiri. Pada kontradiksi ini, manusia bisa menjadi hamba yang sangat taat kepada Tuhannya, atau bahkan menjelma menjadi tuhan bagi impiannya sendiri. Dalam totalitas tindakan yang dilakukannya ini, manusia memiliki ukuran kenikmatan sendiri-sendiri.

Meskipun sejarah telah menayangkan seluruh kisah yang ada di dalamnya tak berarti pilihan menjadi tampak mudah. Yang baik atau yang buruk bisa saling tertukar oleh begitu kuatnya hawa nafsu yang bercokol dalam diri manusia untuk mengambil seluruh “kenikmatan” yang disediakan kehidupan. Kenikmatan dalam wujud kekuasaan, harta, kemewahan telah membuat akal sehat mudah tergoda dan tersesat. Seluruh alasan menjadi seolah-olah benar ketika urusan diukur dari apa yang tampak secara kasat mata. Maka segala cara boleh ditempuh meskipun harus berdusta untuk mencapai maksud itu. Yang penting bagaimana kenikmatan bisa terwujud. Seperti berdiri di persimpangan, kita tidak lagi menjadi diri kita sendiri. Kita bahkan telah menjadi hamba dari persekutuan untuk memuja kehebatan duniawi sebagai orientasi di pikiran kita. Kebendaan yang menghadirkan kenikmatan menjadi lebih utama daripada ketentraman hati. Oleh kobaran hawa nafsu, kita seperti dibakar oleh keserakahan untuk melumat semua yang kita inginkan. Dusta menjadi senjata untuk mematikan semua prakarsa kebaikan. Tak ada yang lebih nikmat dari satu keburukan ketika dusta telah memenangkan maksudnya.

Di dalam kegentingan ketika tubuh hampir ditaklukkan oleh dusta, maka puasa justru menjadi tameng untuk kita tetap istiqomah di jalan kebaikan. Puasa menjadi cara terbaik untuk membangun imunitas tubuh dari godaan nafsu. Ya, puasalah jalan menuju ketentraman hati. Semoga di hari keempat belas puasa ini kita tetap bisa menjaga keistiqomahan kita di jalan kebaikan-Nya. Sebuah jalan untuk menuju kenikmatan sejati, nikmat atas tentramnya hati.



Komentar0

Cari Berita Lain di Google News

Type above and press Enter to search.